Selasa, 24 Desember 2013

MORALITAS KORUPTOR



ABSTRAK

Agung Nugroho. 18210851
MORALITAS KORUPTOR
Tugas Softskill. Jurusan Manajemen, Fakultas Ekonomi, Universitas Gunadarma 2013
Kata kunci : KORUPSI .


Akhir-akhir ini masalah korupsi sedang hangat-hangatnya dibicarakan publik, terutama dalam media massa baik lokal maupun nasional. Banyak para ahli mengemukakan pendapatnya tentang masalah korupsi ini. Pada dasarnya, ada yang pro adapula yang kontra. Akan tetapi walau bagaimanapun korupsi ini merugikan negara dan dapat meusak sendi-sendi kebersamaan bangsa. Pada hakekatnya, korupsi adalah “benalu sosial” yang merusak struktur pemerintahan, dan menjadi penghambat utama terhadap jalannya pemerintahan dan pembangunan pada umumnya. Dalam prakteknya, korupsi sangat sukar bahkan hampir tidak mungkin dapat diberantas, oleh karena sangat sulit memberikan pembuktian-pembuktian yang eksak. Namun karena penyakit tersebut sudah mewabah dan terusmeningkat dari tahun ke tahun bak jamur di musim hujan, maka banyak orang memandang bahwa masalah ini bisa merongrong kelancaran tugas-tugas pemerintah dan merugikan ekonomi Negara. Persoalan korupsi di Negara Indonesia terbilang kronis, bukan hanya membudaya tetapi sudah membudidaya.











PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
            Akhir-akhir ini masalah korupsi sedang hangt-hangatnya dibicarakan publik, terutama dalam media massa baik lokal maupun nasional. Banyak para ahli mengemukakan pendapatnya tentang masalah korupsi ini. Pada dasarnya, ada yang pro adapula yang kontra. Akan tetapi walau bagaimanapun korupsi ini merugikan negara dan dapat meusak sendi-sendi kebersamaan bangsa.
            Pada hakekatnya, korupsi adalah “benalu sosial” yang merusak struktur pemerintahan, dan menjadi penghambat utama terhadap jalannya pemerintahan dan pembangunan pada umumnya. Dalam prakteknya, korupsi sangat sukar bahkan hampir tidak mungkin dapat diberantas, oleh karena sangat sulit memberikan pembuktian-pembuktian yang eksak.
            Namun karena penyakit tersebut sudah mewabah dan terusmeningkat dari tahun ke tahun bak jamur di musim hujan, maka banyak orang memandang bahwa masalah ini bisa merongrong kelancaran tugas-tugas pemerintah dan merugikan ekonomi Negara. Persoalan korupsi di Negara Indonesia terbilang kronis, bukan hanya membudaya tetapi sudah membudidaya.
            Disamping itu sangat sulit mendeteksinya dengan dasar-dasar hukum yang pasti. Namun akses perbuatan korupsi merupakan bahaya latent yang harus diwaspadai baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat itu sendiri. Korupsi adalah produk dari sikap hidup satu kelompok masyarakat yang memakai uang sebagai standard kebenaran dan sebagai kekuasaaan mutlak. Sebagai akibatnya, kaum koruptor yang kaya raya dan para politisi korup yang berkelebihan uang bisa masuk ke dalam golongan elit yang berkuasa dan sangat dihormati. Mereka ini juga akan menduduki status sosial yang tinggi dimata masyarakat.
           
1.2. Rumusan Masalah
1. Bagaimana dampak Korupsi terhadap sebuah kegiatan bisnis
2. Apa penyebab terjadinya korupsi
3. Contoh Kasus

1.3. Tujuan Masalah
1. mengetahui dampak negatif korupsi
2. Apa Penyebab terjadinya korupsi
3. Mengetahui contoh kasus mengenai korupsi di indonesia




















LANDASAN TEORI

Pengertian Moral
Moral adalah kaidah mengenai apa yang baik dan buruk. Sesuatu yang baik kemudian diberi label “bermoral.” Sebaliknya, tindakan yang bertentangan dengan kebaikan lantas dikategorikan sebagai sesuatu yang jahat, buruk, atau: “tidak bermoral.”
            Semua orang sepakat bahwa manusia adalah makhluk yang istimewa, unik, dan berbeda dengan aneka ciptaan Tuhan yang lain. Keunikan tersebut menjadi faktor pembeda yang tegas antara manusia dan makhluk yang lain. Lalu apa yang membedakan manusia dengan makhluk yang lain? Tentu akal budinya!
            Akal budi inilah yang memampukan manusia untuk membedakan apa yang baik dan yang buruk. Dengan demikian manusia tidak tunduk pada insting belaka. Aneka nafsu, hasrat, dan dorongan alamiah apapun diletakkan secara harmonis di bawah kendali budi.
Dari sini kemudian manusia menggagas hidupnya secara lebih bermartabat dan terhormat. Manusia kemudian punya kecenderungan alamiah untuk mengarahkan hidupnya kepada kebaikan dan menolak keburukan. Apa saja yang baik, itulah yang dikejar dan diusahakan. Hidup sosial, ekonomi, politik, budaya, dan lain sebagainya kemudian digagas untuk menggapai kebaikan.

MORALITAS OBYEKTIF
            Moralitas obyektif lahir dari kesadaran manusia untuk mencapai  kebaikan bersama. Moralitas obyektif adalah tata nilai yang secara obyektif ada dan dipatuhi bersama sebagai konsekuensi dari kodrat manusia sebagai makhluk berakal budi.
            Moralitas seperti ini hadir dalam bentuk aneka peraturan, perundangan, norma, dan nilai-nilai yang berkembang dalam tata hidup bersama. Ia bisa berwujud aturan yang sudah diwariskan turun-temurun, tetapi bisa juga berwujud aturan yang dengan sengaja dibuat untuk pencapaian kebaikan bersama, misalnya undang-undang, KUHP, aneka tata-tertib, dll. Untuk mencegah korupsi misalnya, manusia kemudian membuat undang-undang antikorupsi.
            Pelanggaran terhadap moralitas obyektif ini mengakibatkan si pelanggar dikenai sanksi dan hukum yang berlaku. Seorang koruptor, misalnya, harus dihukum jika secara obyektif dia terbukti melakukan korupsi.


MORALITAS SUBYEKTIF
            Moralitas subyektif adalah tata nilai yang secara konstitutif ada di dalam hati sanubari manusia. Karena setiap manusia berakal budi, maka setiap manusia mempunyai dalam dirinya sendiri tata nilai yang mengantarnya kepada kebaikan, dan ini harus ditaati.
            Berbeda dengan moralitas obyektif, pelanggaran terhadap norma subyektif ini tidak bisa dikenai hukum obyektif. Lalu instansi apa yang bisa mengawasi moralitas subyektif semacam ini? Bukan polisi, tentara, jaksa, ataupun KPK, melainkan hati nurani! Hati nurani inilah yang kemudian terlanggar jika seseorang memilih untuk menyimpang kepada keburukan dengan mau-tahu-dan bebas.
            Secara sekilas, agaknya moralitas subyektif ini sanksinya lebih ringan karena hanya dirinya sendiri yang tahu. Tetapi betulkah demikian? Tidak! Justru sanksi dari moralitas subyektif ini akan menghantuinya seumur hidup. Jika hukuman obyektif (sanksi penjara misalnya) hanya berlaku selama beberapa tahun dan setelah itu ia bisa melenggang bebas, tidak demikian dengan sanksi yang dijatuhkan nurani manusia!
KORUPSI
            Korupsi adalah penyakit bangsa dan secara tegas pula merupakan penyakit moral! Moral yang mana? Kedua-duanya: moralitas obyektif dan sekaligus subyektif. Pemberantasan korupsi dengan demikian juga memasuki kedua ranah tersebut. Korupsi bisa diberantas jika secara obyektif ia dilarang (dengan memberlakukan hukum yang amat berat), dan secara subyektif pula diperangi (dengan mempertajam peran budi-nurani yang dimiliki oleh setiap manusia).
            Di satu sisi, penegakan moralitas obyektif adalah soal penegakan aturan main dalam hidup bernegara, ketegasan pemerintah dalam menegakkan hukum terhadap para koruptor, dan pembenahan sistem peradilan yang semakin adil. Di sisi lain, penegakkan moralitas subyektif adalah soal pembenahan mentalitas aparatur negara, pembenahan hidup kemanusiaan sebagai mahkluk yang berakal budi, dan penajaman hati nurani.
            Penekanan kepaada salah satu moralitas saja sudah cukup baik, tetapi belum cukup. Pemberlakuan hukum yang berat terhadap para koruptor itu baik, tetapi belum cukup. Mengapa? Karena dengan demikian orang hanya dididik untuk takut menjadi koruptor. Ia takut melakukan korupsi hanya karena takut akan hukuman mati, padahal yang seharusnya muncul adalah kesadaran untuk menghindarinya karena korupsi itu tindakan yang buruk (bukan hanya soal takut)! Pendidikan hati nurani (misalnya dilakukan dengan: mengikuti anjuran agama dan berlaku saleh) itu juga baik, tetapi juga belum cukup! Mengapa? Karena dalam hidup bersama tetap diperlukan hukum yang tegas bagi tercapainya kebaikan bersama.
            Sebagai warga bangsa, manusia Indonesia seharusnya sadar bahwa korupsi adalah masalah bersama yang membawa negara ini kepada keburukan dan keterpurukan. Sudah saatnya dibuat hukum yang tegas untuk mengembalikan bangsa ini kepada jalurnya yang benar, dan tak ketinggalan pula: pendidikan hati nurani demi tajamnya mentalitas bernegara. Pendidikan hati nurani dalam hal ini tidak bisa disempitkan melulu kepada beribadah dan kembali kepada agama saja (karena semua orang Indonesia ternyata beragama, dan pada saat itu juga menjadi negara terkorup pula!). Pendidikan hati nurani sebenarnya adalah persoalan pengembalian manusia kepada kodratnya yang mengedepankan peran akal budi. Akal budi inilah yang memampukan setiap manusia untuk mengarahkan diri kepada pencapaian kebaikan. Korupsi adalah pembalikan dari kebaikan, maka dengan tegas harus ditolak! Korupsi juga adalah pengingkaran kodrat manusia yang bermartabat, maka dengan tegas pula harus diberantas!

METODE PENELITIAN


Objek Penelitian
Objek penelitian ini adalah : Moralitas Koruptor

Data yang Digunakan
Data yang digunakan oleh penulis :
Data Sekunder berupa data kualitatif, yaitu dengan mencari data-data tentang Korupsi dan moralitas














PEMBAHASAN
Penyebab Terjadinya Korupsi
Korupsi dapat terjadi karena beberapa factor yang mempengaruhi pelaku korupsi itu sendiri atau yang biasa kita sebut koruptor. Adapun sebab-sebabnya, antara lain:
1.        Klasik 
a.       Ketiadaan dan kelemahan pemimpin. Ketidakmampuan pemimpin untuk menjalankan tugas dan tanggung jawabnya, merupakan peluang bawahan melakukan korupsi. Pemimpin yang bodoh tidak mungkin mampu melakukan kontrol manajemen lembaganya.kelemahan pemimpin ini juga termasuk ke leader shipan, artinya, seorang pemimpin yang tidak memiliki karisma, akan mudah dipermainkan anak buahnya. Leadership dibutuhkan untuk menumbuhkan rasa takut,ewuh poakewuhdi kalangan staf untuk melakukan penyimpangan.
b.      Kelemahan pengajaran dan etika. Hal ini terkait dengan system pendidikan dan substansi pengajaran yang diberikan. Pola pengajaran etika dan moral lebih ditekankan pada pemahaman teoritis, tanpa disertai dengan bentuk-bentuk pengimplementasiannya.
c.       Kolonialisme dan penjajahan. Penjajah telah menjadikan bangsa ini menjadi bangsa yang tergantung, lebih memilih pasrah daripadaberusaha dan senantiasa menempatkan diri sebagai bawahan.Sementara, dalam pengembangan usaha, mereka lebih cenderung berlindung di balik kekuasaan (penjajah) dengan melakukan kolusidan nepotisme. Sifat dan kepribadian inilah yang menyebabkan munculnya kecenderungan sebagian orang melakukan korupsi.
d.      Rendahnya pendidikan. Masalah ini sering pula sebagai penyebab timbulnya korupsi. Minimnya ketrampilan, skill, dan kemampuan membuka peluang usaha adalah wujud rendahnya pendidikan. Dengan berbagai keterbatasan itulah mereka berupaya mencsri peluang dengan menggunakan kedudukannya untuk memperoleh keuntungan yangbesar. Yang dimaksud rendahnya pendidikan di sini adalah komitmen terhadap pendidikan yang dimiliki. Karena pada kenyataannya  koruptor rata-rata memiliki tingkat pendidikan yang memadai,kemampuan, dan skill.
e.       Kemiskinan. Keinginan yang berlebihan tanpa disertai instropeksi diriatas kemampuan dan modal yang dimiliki mengantarkan seseorang cenderung melakukan apa saja yang dapat mengangkat derajatnya.Atas keinginannya yang berlebihan ini, orang akan menggunakan kesempatan untuk mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya.
f.       Tidak adanya hukuman yang keras, seperti hukuman mati, seumur hidup atau di buang ke Pulau Nusa kambangan. Hukuman seperti itulah yang diperlukan untuk menuntaskan tindak korupsi.
g.      Kelangkaan lingkungan yang subur untuk perilaku korupsi.
2.      Moderna
a.       Rendahnya Sumber Daya Manusia.Penyebab korupsi yang tergolong modern itu sebagai akibat rendahnya sumber daya manusia. Kelemahan SDM ada empat komponen, sebagai berikut:
-          Bagian kepala, yakni menyangkut kemampuan seseorang menguasai permasalahan yang berkaitan    dengan sains dan knowledge.
-          Bagian hati, menyangkut komitmen moral masing-masing komponen bangsa, baik dirinya maupun untuk kepentingan bangsa dan negara, kepentingan dunia usaha, dan kepentingan seluruh umat manusia.komitmen mengandung tanggung jawab untuk melakukan sesuatu hanya yang terbaik dan menguntungkan semua pihak.   
-          Aspek skill atau keterampilan, yakni kemampuan seseorang dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya.
-          Fisik atau kesehatan. Ini menyangkut kemanpuan seseorang mengemban tanggung jawab yang diberikan. Betapa pun memiliki kemampuan dan komitmen tinggi, tetapi bila tidak ditunjang dengan kesehatan yang prima, tidak mungkin standar dalam mencapai tujuann
b.      Struktur Ekonomi Pada masa lalu struktur ekonomi yang terkait dengan kebijakan ekonomi dan pengembangannya dilakukan secara bertahap.Sekarang tidak ada konsep itu lagi. Dihapus tanpa ada penggantinya,sehingga semuanya tidak karuan, tidak dijamin. Jadi, kita terlalu memporak-perandakan produk lama yang bagus

 Dampak Korupsi Dalam Kegiatan Bisnis
Dengan adanya praktek korupsi yang sedang marak terjadi di Indonesia, seperti proses perizinan usaha sebuah perusahaan yang berbelit-belit dan dengan biaya tinggi yang tidak pada semestinya dikarenakan ada oknum tertentu dengan sengaja mengambil sebagian biaya tersebut. Dengan adanya praktek pungutan yang tidak semestinya, maka hal tersebut, tentunya sangat berdampak pada kegiatan bisnis dalam suatu perusahaan karena dengan adanya praktek-praktek korupsi oleh pihak-pihak/oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab ini akan membebankan perusahaan  seperti adanya High Cost sehingga hal tersebut berpengaruh pula pada harga dari sebuah produk barang atau jasa yang dihasilkan. Hal ini terjadi karena buruknya mental dan minimnya pemahaman serta kesadaran hukum pada para pelaku tindak pidana korupsi tersebut. Dan adanya persepsi dari para pengusaha terjadinya sejumlah kasus korupsi termasuk suap, juga dipicu karena rumitnya urusan birokrasi yang tidak pro bisnis, sehingga mengakibatkan beban biaya ekonomi yang tinggi dan inefisiensi waktu.
Fenomena Sosial Korupsi dalam Praktik Bisnis
-         Aspek Sosial Politik
Berkaitan dengan koruhsi yang dilakukan sehubungan dengan kekuasaan yang dimilikinya melalui aktivitas ke­giatan dengan alasan untuk kepentingan politik, banyak elite politik yang duduk dalam dewan legislatif DPR terlibat korupsi dengan nuansa bisnis. Contohnya adalah kolusi proyek pembangunan, jasa transportasi fiktif, per­jalanan dinas fiktif, pengadaan barang fiktif, penyimpangan dana APBN, APBD, mark-up investasi, money politic untuk memperoleh jabatan pemilihan kades/lurah, pemilihan presiden, gubernur, bupati, wali­kota. Pemilihan kepala daerah bahkan sangat kental de­ngan nuansa korupsi, dengan money politic, pemberian barang, uang, dan fasilitas. Fenomena sosial politik dan kekuasaan identik dengan pernyataan sosiolog dan krimi­nolog Lord Acton yang menyebutkan "Power Tends to Corrupt, but Absolute Power Corrupts Absolutely". Artinya, kekuasaan cenderung korupsi, tetapi kekuasaan yang berlebihan mengakibatkan korupsi yang berlebihan pula. Dalil tersebut bertumpu pada penyelewengan dan penyalahgunaan kekuasaan. Realitas perilaku elite politik dewasa ini menunjukkan kebenaran pernyataan itu (Guna­wan, 1993: l5).

-         Aspek Sosial Ekonomi
Kenyataan yang tidak dapat dimungkiri dan seakan men­jadi rahasia umum adalah bahwu perilaku korupsi dalam praktik bisnis telah begitu menggejala. Peluang para pe­laku bisnis di Indonesia untuk melakukan korupsi begitu terbuka sehingga dapat memengaruhi kehidupan ekonomi makro, menengah ke bawah, sampai kehidupan ekonomi mikro. Korupsi yang paling banyak terjadi dalam praktik bisnis contohnya adalah pengadaan barang dan jasa, yang sekarang telah diatur dengan Kepres No. 80 Tahun 2003. Perilaku korupsi tersebut mencakup suap (bribery) dengan cara pemberian komisi, order fee, tip untuk pejabat. Bah­kan sering terjadi korupsi transaktif pada sektor ekonomi makro terutama dalam praktik korupsi pada investasi dan kasus proyek besar misalnya pertambangan, kehutanan, bantuan luar negeri, dan perpajakan, yang sangat poten­sial dengan manipulasi, kolusi yang merugikan pereko­nomian dan kekayaan negara, serta menyebabkan kecilnya APBN. Bahkan yang mengejutkan  jumlah korupsi Indonesia mencapai  Rp 444 triliun, melebihi APBN tahun 2003  Rp 370 triliun ( Surga Para Koruptor  Jakarta: Penerbit Buku Kompas hal 145).

-         Aspek Sosial Budaya
Disadari sementara orang dapat bersekolah atau kuliah karena kolusi, buku-buku pelajaran dijadikan ajang bisnis. Gaji para guru dan dosen rendah dan sering kali kena po­tongan. Ketakberdayaan dalam keterbatasan kesejahteraan ini mendorong para guru mencari peluang tambahan an­tara lain dengan korupsi. Selain itu, banyak guru tak jelas nasibnya, infrastruktur pembangunan pendidikan, ter­utama gedung sekolah, banyak yang rusak dan tidak me­menuhi standar teknis (spectic, bestec), sehingga sektor pendidikan menjadi mahal karena nuansa korupsi. Sektor keagamaan juga tak lepas dari praktik korupsi. Bidang keagamaan, khususnya bagian pelaksanaan administrasi, merupakan ladang subur munculnya berbagai pungutan dengan alasan keikhlasan dan amal sedekah untuk kepen­ringan pribadi atau orang lain. Tenru saja hal ini adalah tindakan amoral karena tergolong korupsi (Wintolo, 2004: 11).










PENUTUP

Kesimpulan
Korupsi adalah suatu tindak perdana yang memperkaya diri yang secara langsung merugikan negara atau perekonomian negara. Jadi, unsur dalam perbuatan korupsi meliputi dua aspek. Aspek yang memperkaya diri dengan menggunakan kedudukannya dan aspek penggunaan uang yang bukan haknya untuk kepentingannya. Adapun penyebabnya antara lain, ketiadaan dan kelemahan pemimpin,kelemahan pengajaran dan etika, kolonialisme, penjajahan rendahnya pendidikan, kemiskinan, tidak adanya hukuman yang keras, kelangkaan lingkungan yang subur untuk perilaku korupsi, rendahnya sumber daya manusia, serta struktur ekonomi. Korupsi dapat diklasifikasikan menjadi tiga jenis, yaitu bentuk, sifat,dan tujuan. Dampak korupsi dalam bidang bisnis diantaranya akan membebankan perusahaan  seperti adanya High Cost sehingga hal tersebut berpengaruh pula pada harga dari sebuah produk barang atau jasa yang dihasilkan.

Saran
Dalam penulisan ini penulis memberikan saran yaitu perlu adanya peningkatan moral dari tiap individu sehingga tidak hanya mementingkan kepentingan masing-masing namun juga mempertimbangkan kepentingan perusahaan dengan segala aspeknya. Peningkatan moral bisa dilakukan sejak dini dengan pendidikan anti korupsi sejak kecil dan mencoba untuk tidak melakukan korupsi dalam hal-hal kecil.







DAFTAR PUSTAKA

Sabtu, 30 November 2013

Iklan dalam Etika dan Estetika



ABSTRAKSI


Persaingan dalam dunia bisnis kian ketat, berbagai perusahaan berlomba-lomba berkreasi se-kreatif mungkin untuk membuat program marketingnya termasuk pengolahan ide iklan. Lihat saja di televisi, berbagai iklan diputar di sela-sela tayangan program televisi tersebut. Bila iklan tidak dibuat semenarik mungkin, maka orang akan lebih memilih untuk mengganti channel televisi daripada melihat iklan. Sama juga iklan di media pajang seperti billboard. Laju kendaraan dan padatnya lalu lintas membuat orang sulit untuk focus pada suatu iklan tertentu. Berdasar dari insight itulah, berbagai pembuat iklan selalu berusaha membuat iklan yang unik, berbeda dan menarik











PENDAHULUAN

Latar Belakang

Perkembangan zaman yang semakin pesat membuat perkembangan akan produk baik barang ataupun jasa juga semakin meningkat. Sehingga pemanfaatan akan penyebaran informasi mengenai produk tersebutpun mulai bermunculan dalam berbagai media, baik cetak, pertelevisian maupun media online. Informasi itu sendiri tertuang dalam sebuah sarana yang dinamakan Iklan.
Iklan sendiri dapat diartikan sebagai penggiring orang pada suatu gagasan. Walaupun pada akhrinya tidak semua iklan dapat mengajak setiap orang yang melihatnya untuk membeli atau melakukan apa yang dilihat, didengar atau dibaca.
          Media audiovisual, seperti televisi adalah media yang paling tepat untuk memunculkan sebuah iklan dikarenakan hampir seluruh lapisan masyarakat memiliki televisi. Selain hasil yang didapat nyaris sempurna, gambar atau alur cerita serta rangkaian kalimat yang diiringi dengan musik yang beraneka ragam membuat iklan ditelevisi mudah diingat.
            Namun apakah setiap iklan ditelevisi sudah sesuai dengan etika yang ada, serta estetika apa yang terdapat didalamnya nyata. . Untuk itu dalam penulisan kali ini, penulis ingin membahas tentang “ETIKA DAN ESTETIKA DALAM IKLAN ”

Rumusan Masalah

                Apakah iklan yang ada sudah memenuhi Etika dan Estetika ?



Batasan Masalah
Dalam penulisan ini penulis membatasi masalah hanya pada penggunaan prinsip – prinsip dalam Etika Bisnis

Tujuan Penelitian
Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahuin apakah etika dalam periklanan sangat dibutuhkan.

Manfaat Penelitian
1.      Manfaat Akademis
Dapat membantu penulis memperdalam materi yang berkaitan dengan studi kelayakan usaha dan dapat dijadikan acuan oleh penulis lain jika ingin melakukan penulisan sejenis.
2.      Manfaat Praktis
Sebagai dasar dari pengetahuan untuk perusahaan, tentang etika bisnis

Metode Penelitian
Dalam penulisan ini penulis hanya melakukan penelitian dalam internet yaitu berupa forum, media sosial, dan juga Wikipedia.







LANDASAN TEORI

Pengertian Iklan

Iklan Berasal dari bahasa Yunani, kurang lebih pengertiannya “menggiring orang pada suatu gagasan”. Definisi tentang iklan dan periklanan dapat kita temui di hampir semua kepustakaan iklan, periklanan dan pemasaran. Iklan adalah segala bentuk pesan tentang suatu produk yang disampaikan lewat media dan dibiayai oleh pemrakarsa yang dikenal serta ditujukan kepada sebagaian atau seluruh masyarakat. Dari definisi diatas, jelas terlihata adanya empat unsur yang menentukan atau membentuk iklan, yaitu :
1. Pemrakarsa
2. Pesan
3. Media
4. Masyarakat
Dengan demikian jelas, bahwa iklan merupakan pula suatu komunikasi. Ia melibatkan produsen sebagai Komunikator, fisik iklan itu sendiri sebagai unsure Pesan, media sebagai Saluran dan khalayak sebagai publik yang ditujunya. Dengan demikian, model komunikasinya menjadi :
Produsen > Iklan > Media > Khalayak > Sasaran
Para praktisi periklanan Indonesia juga menyatakan sepakat bahwa, periklanan adalah keseluruhan proses yang meliputi penyiapan, perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan penyampaian iklan.





Tujuan dan Fungsi Periklanan
Pada dasarnya tujuan akhir periklanan adalah untuk merangsanga atau mendorong terjadinya penjualan (sales). Untuk mencapai tujuan itu, ada beberapa hal yang perlu dilakukan. Secara umum tujuan periklanan adalah sebagai berikut :
1. Menciptakan pengenalan merek / produk / perusahaan
Melalui periklanan khalayak akan mengetahui keberadaan merk, produk maupuin perusahaan pasar.
2. Memposisikan
Melalui periklanan perusahaan pasar dapat memposisikan produknya dengan membedakan diri dengan produk pesaing.
3. Mendorong prospek untuk mencoba
Dengan menyampaikan pesan-pesan yang persuasive, khalayak didorong untuk mencoba menggunakan produk atau merk yang ditawarkan.
4. Mendukung terjadinya penjualan
Dengan beriklan diharapkan konsumen bertindak untuk membeli produk
5. Membina loyalitas
Dengan beriklan akan semakin memantapkan keberadaan pelanggan yang loyal. Artinya perusahaan ingin menyampaikan bahwa merk dan produk yang pernah digunakan konsumen masih tetap ada dipasar.
6. Mengumumkan cara baru pemanfaatan
Inovasi atau cara baru pemanfaatan dapat dapat diketahui khalayak melalui iklan
7. Meningkatkan citra
Dengan iklan akan meningkatkan citra produk, merk maupun perusahaan.
Fungsi dan Peran Periklanan
1. Sumber Informasi
Dengan iklan, dapat membantu masyarakat unruk memilih altenatif produk yang lebih baik atau yang lebih sesuai dengan kebutuhannya. Artinya iklan dapat memberikan informasi yang lebih banyak daripada yang lainnya, baik tentang produknya, distribusi atau tempat pembeliannya atau informasi lain yang mempunyai kegunaan bagi masyarakat.
2. Kegiatan Ekonomi
Periklanan mendorong pertumbuhan perekonomian karena produsen didorong utnuk tetap memproduksi dan memperdagangkan produk untuk melengkapi kebutuhan masyarakat yang terus berkembang.
3. Pembagi Beban Biaya
Periklanan membantu tercipatanya skala ekonomi yang besar bagi setiap produk, sehingga menurunkan biaya produksi dan distribusi per unit atas produk tersebut, dan pada akhirnya memurahkan harga jualnya kepada masyarakat.
4. Sumber Dana Media
Periklanan merupakan salah satu sumber dana media yang menunjang media untuk tetap eksis. Munculnya banyak media membuat persaingan semakin ketat.
5. Identitas produsen
Melalui kegiatan periklanan, masyarakat akan mengetahui produsen. Ada perusahaan yang dalam iklannya memnonjolkan perusahaanya
6. Sarana Kontrol
Melalui kegiatan periklanan, masyarakat dapat membedakan produk-produk sah dengan tiruan.
Akan tetapi, selain berperan positif, berbagai pandangan negative tentang iklan bermunculan, diantaranya adalah :
1. Iklan dianggap merusak tata bahasa yang berlaku
2. Iklan dianggap dapat mendorong orang menjadi matrealistis
3. Iklan dianggap dapat mendorong orang membeli barang yang tidak diinginkan
4. Iklan dianggap terlalu berlebihan
5. Iklan dianggap menciptakan suatu stereotip

           

            Pengertian Estetika

            Estetika merupakan gabungan dari ilmu pengetahuan dan filsafat. Kata estetika dikutip dari bahasa Yunani aisthetikos atau aishtanomai yang berarti mengamati dengan indera (Lexion Webster Dic: 1977:18). Pengertian tersebut juga berkaitan dengan istilah Yunani aestheis yang berarti pengamatan.
Dalam hal ini, Feldman melihat estetika sebagai ilmu pengetahuan pengamatan atau ilmu pengetahuan inderawi, mengacu pada kesan-kesan inderawi. Demikian juga dengan J. Addison, memadankan estetika dengan teori cita rasa.
            Estetika sebagai ilmu pengetahuan berdasarkan pada kegiatan dari pengamatan yang  dilakukan dengan menggunakan panca indera, yaitu (1) mata sebagai indera penglihatan, (2) hidung sebagai indera penciuman, (3) telinga sebagai indera pendengaran, (4) lidah sebagai indera pengecap, dan (5) kulit sebagai indera peraba. Sebagai contoh, dalam mengamati suatu karya seni, kita menggunakan kelima indera tersebut untuk mendapatkan kesan yang ditimbulkan dari karya seni yang diamati, baik itu kesan warna, ruang, tekstur, dan sebagainya. Setelah kita mendapatkan kesan dari karya seni yang kita amati, maka kita dapat merasakan unsur keindahan yang terdapat pada karya seni tersebut. Keindahan bersifat relatif bergantung pada selera atau cita rasa masing-masing individu. Selera atau cita rasa (Inggris: taste) yang dimaksud adalah kecenderungan menyukai sesuatu atau hal-hal yang pernah dialami.

Media Audiovisual

Sebelum beranjak ke pengertian media audio visual maka terlebih dahulu kita mengetahui arti kata media itu sendiri. Apabila dilihat dari etimologi “kata media berasal dari bahasa latin dan merupakan bentuk jamak dari kata “medium” yang secara harfiah berarti perantara atau pengantar, maksudnya sebagai perantara atau alat menyampaikan sesuatu” (Salahudin,1986: 3) Sejalan dengan pendapat di atas, AECT (Association For Education Communication Technology) dalam Arsyad mendefinisikan bahwa “ media adalah segala bentuk yang dipergunakan untuk menyalurkan pesan informasi” (Arsyad,2002:11). “Audio visual adalah media instruksional modern yang sesuai dengan perkembangan zaman (kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi), meliputi media yang dapat dilihat dan didengar” (Rohani, 1997: 97-98). Media audio visual adalah merupakan media perantara atau penggunaan materi dan penyerapannya melalui pandangan dan pendengaran sehingga membangun kondisi yang dapat membuat siswa mampu memperoleh pengetahuan, keterampilan, atau sikap. Berbicara mengenai bentuk media, disini media memiliki bentuk yang bervariasi sebagaiman dikemukakan oleh tokoh pendidikan, baik dari segi penggunaan, sifat bendanya, pengalaman belajar siswa, dan daya jangkauannya, maupun dilihat dari segi bentuk dan jenisnya. Dalam pembahasan ini akan dipaparkan sebagian dari bentuk media audio visual yang dapat diklasifikasikan menjadi delapan kelas yaitu:
  1. Media audio visual gerak contoh, televisi, video tape, film dan media audio pada umumnaya seperti kaset program, piringan, dan sebagainya.
  2. Media audio visual diam contoh, filmastip bersuara, slide bersuara, komik dengan suara.
  3. Media audio semi gerak contoh, telewriter, mose, dan media board.
  4. Media visual gerak contoh, film bisu
  5. Media visual diam contoh microfon, gambar, dan grafis, peta globe, bagan, dan sebagainya
  6. Media seni gerak
  7. Media audio contoh, radio, telepon, tape, disk dan sebagainya
  8. Media cetak contoh, televisi (Soedjarwono, 1997: 175).
Hal tersebut di atas adalah merupakan gambaran media sebagai sumber belajar, memberikan suatu alternatif dalam memilih dan mengguanakan media pengajar sesuai dengan karakteristik siswa. Media sebagai alat bantu mengajar diakui sebagai alat bantu auditif, visual dan audio visual. Ketiga jenis sumber belajar ini tidak sembarangan, tetapi harus disesuaikan dengan rumusan tujuan instruksional dan tentu saja dengan guru itu sendiri.

















METODE PENELITIAN

Objek Penelitian       

            Objek yang digunakan dalam penulisan ini adalah iklan ditelevisi.

Data Penelitian

Data yang digunakan oleh penulis dalam penulisan ini adalah dengan mencari data-data di internet.













PEMBAHASAN

Sejarah Etika Periklanan Di Indonesia
Aturan, tata cara dan etika dalam beriklan sempat menjadi perbincangan di masa periklanan modern Indonesia pada tahun 1978 yaitu inisiatif untuk melahirkan Tata Krama Periklanan Indonesia. Contohnya saat itu pemerintah Indonesia mendukung dibentuknya Dewan Periklanan Nasional yang beranggotakan PPPI (Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia), SPS (Seikat Penerbit Surat kabar), TVRI & RRI, PRSSNI (Persatuan Radio Siaran Swasta Niaga Indonesia, GPBSI (Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia) dan YLKI (yayasan Lembaga Konsumen Indonesia). Sayangnya dewan itu hanya berusia satu tahun sebelum pada akhirnya dibubarkan. Tata Krama Periklanan Indonesia yang dicita-citakan akan lahir dari Dewan Periklanan Nasional tidak sempat menjadi kenyataan. Beberapa pendapat mengatakan beberapa hal bahwa terutama ini karena tekanan dari pengelola media cetak yang menginginkan agar kode etik periklanan mengacu pada Kode Etik Penerbitan Pers yang sudahh dimiliki dan diberlakukan oleh SPS bagi par anggotanya.
Pada pertengahan tahun 1980, Aspindo (Asosiasi Pemrakarsa dan Penyantun Iklan Indonesia) memprakarsai sebuah Simposium Periklanan Nasional bersama PPPI, SPS dan PRSSNI. Semua draft dan butir-butir pikiran Tata Krama Periklanan Indonesia yang pernah dirumuskan di masing-masing organisasi “dipertemukan” dalam simposium ini dan dibahas secara bersama.
Menjelang akhir tahun 1980, sebagai kelanjutan dalam Simposium Periklanan Nasional, diselenggarakan Konvensi Masyarakat Periklanan Indonesia untuk mencoba merumuskan sebuah rancangan Tata Krama Periklanan Indonesia yang dapat disepakati bersama. Setelah melalui persidangan sebanyak 68 kali dalam waktu delapan bulan, akhirnya lahirlah Tata Krama dan Tata Cara Periklanan Indonesia. (TKTCPI).

ETIKA PARIWARA INDONESIA (EPI)
(Disepakati Organisasi Periklanan dan Media Massa, 2005). EPI merupakan acuan terkini dalam mengatur pembuatan iklan supaya tetap mengacu kaidah etika sesuai dengan norma dan hukum yang berlaku di Indonesia. Terdapat dua puluh tujuh poin yang menjadi aturan atau etika dalam beriklan di indonesia.
Dalam asumsi penulis, iklan sebuah produk soft drink ini bermaksud mengusung imej sebagai minuman yang mampu menghilangkan rasa takut dan memunculkan rasa senang. Oleh sebab itu kreator menggambarkannya dengan orang yang akan dihukum gantung namun justru berekspresi senang melalui senyumannya ketika minum soft drink tersebut.
            Bila dikorelasikan dengan aturan etika periklanan dalam Etika Pariwara Indonesia, iklan media cetak tersebut berbenturan dengan dua poin dalam aturan ini yaitu poin ke sembilan dan ke sepuluh yang berbunyi sebagai berikut:
9. Rasa Takut dan Takhayul: Iklan tidak boleh menimbulkan atau mempermainkan rasa takut, maupun memanfaatkan kepercayaan orang terhadap takhayul, kecuali untuk tujuan positif.
10. Kekerasan: Iklan tidak boleh – langsung maupun tidak langsung -menampilkan adegan kekerasan yang merangsang atau memberi kesan membenarkan terjadinya tindakan kekerasan.
            Iklan tersebut menjadi berbenturan dengan EPI karena secara visual dapat menimbulkan rasa takut melalui gambaran kekerasan (algojo dan hukum gantung).
Disangkutkan dengan hal lainnya, pada bulan Juni 2012 lalu, Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (P3I) DKI Jakarta bekerjasama dengan PT Fonterra Brands Indonesia, perusahaan susu yang berpusat di Auckland, New Zealand, baru-baru ini menggelar diskusi “Etika Periklanan: Pedoman Periklanan Produk Pangan” di Ritz Carlton, Jakarta. Diskusi tersebut merupakan wadah komunikasi terbuka antar semua pihak yang terlibat dalam penayangan pariwara, yaitu industri periklanan, pebisnis, pemerintah, dan lembaga swadaya masyarakat terkait.
Membuka acara diskusi, Ketua P3I DKI Jakarta, Irfan Ramli mengatakan bahwa pedoman periklanan yang ada saat ini belum cukup sempurna untuk dapat mengikuti perkembangan dunia iklan baik dari segi kreativitas, maupun media sehingga diperlukan adanya pembaruan periklanan. Banyak biro iklan yang belum termasuk dalam keanggotaan P3I, sehingga P3I sendiri cukup kesulitan untuk memantau semua konten media beriklan. Untuk menayangkan iklan produk pangan pada khususnya, banyak kepentingan yang terlibat. Namun dengan adanya ketentuan-ketentuan periklanan seharusnya pekerjaan ini bisa lebih mudah. Agensi iklan tetap bisa menjaga kreativitasnya di jalur yang sesuai dan produsen tetap bisa mengiklankan produknya, meskipun harus tetap mengikuti pedoman periklanan produk pangan dari BPOM.
Mengenai keterkaitan Badan POM dalam hal ini, Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya Badan POM RI Roy A. Sparringa dalam pertemuan tersebut menyampaikan bahwa  dalam membuat peraturan terkait keamanan pangan, selama ini BPOM berpegang pada pedoman CODEX, yaitu komisi di bawah Food andAgricultural Organization (FAO) dan World Health Organization (WHO) yang mengatur standardisasi keamanan pangan. CODEX juga sudah banyak diperhatikan oleh perusahaan besar. Saat ini, Badan POM tengah mengembangkan dan memperbaiki pedoman yang mengatur mengenai produk pangan, khususnya tentang periklanan. Pedoman ini memiliki ketentuan dasar bahwa sebuah iklan harus benar dan tidak menyesatkan, mengingat eratnya hubungan antara iklan dengan persepsi konsumen.
Dalam pembuatan iklan sendiri, menurut Roy A. Sparringa, terlebih mengenai penayangan iklan di media elektronik, masyarakat khususnya anak-anak cenderung mudah menyerap pesan dari iklan-iklan yang ditayangkan di TV, sehingga para pelaku iklan harus lebih cermat dan memahami perilaku konsumen. Di sinilah etika mulai berperan dalam memberikan tata krama dan tata cara beriklan agar pelaku usaha sebagai pengiklan dan asosiasi iklan bertindak sesuai dengan aturan.


















PENUTUP

Kesimpulan
            Dalam melaksanakan etika periklanan, khususnya untuk produk makanan dan minuman, diperlukan kerjasama yang kondusif antara badan yang berwenang dan pihak pengontrol  iklan yakni industry, pemerintah dan masyarakat. Dengan demikian etika periklanan menjadi usaha nyata untuk memberikan informasi yang benar dan mendidik kepada konsumen serta meningkatkan kualitas industry periklanan sesuai dengan perkembangan.
Saran
            Pandangan kristis konsumen Indonesia saat ini selain mengenai kandungan dalam produk makanan dan minuman juga adalah status halal dan haramnya produk konsumsi tersebut. Jadi dalam iklan produk makanan dan minuman seharusnya memegang etika periklanan dengan mencantumkan keterangan lolos uji klinis BPOM serta keterangan halal dari MUI.